FaktaIndonesia.id - Kelompok aktivis hak-hak asasi manusia (HAM) Human Rights Watch menilai pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) gagal ...
FaktaIndonesia.id - Kelompok aktivis hak-hak asasi manusia (HAM) Human Rights Watch menilai pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) gagal mengatasi peningkatan intoleransi di Indonesia. Peningkatan intoleransi tersebut menyebabkan diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas di Indonesia.
Human Rights Watch dalam World Report 2018 menyatakan kelompok minoritas agama di Indonesia menghadapi peraturan dan undang-undang yang diskriminatif. Juga pelecehan, intimidasi dan kekerasan dari militan Islam.
Pada awal 2017, Departemen Agama merancang undang-undang agama, yang memperkuat undang-undang penghujatan, juga aturan diskriminatif yang menghambat agama minoritas mendirikan rumah ibadah.
Pada 9 Mei, pengadilan di Jakarta memvonis mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, penganut agama Kristen, hukuman dua tahun penjara karena dianggap menghujat Islam.
Pemerintah Jokowi menutup mata terhadap pelecehan terhadap minoritas agama dan minoritas seksual," kata Phelim Kine, Deputi Direktur HRW untuk wilayah Asia.
"Pejabat menggunakan undang-undang penghujatan sangat sangat ambigu untuk membidik kelompok agama tertentu, sedangkan polisi melakukan penggerebekan invasif terhadap kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender)."
Dalam laporan setebal 643 halaman, HRW mengulas praktek HAM di lebih dari 90 negara.
Dalam pengantarnya, Direktur Eksekutif HRW Kenneth Roth menyatakan para pemimpin politik yang mau membela prinsip-prinsip HAM terbukti berhasil membatasi agenda-agenda populis yang otoriter.
Jika dikombinasikan dengan mobilisasi publik dan aktor-aktor multilateral yang efektif, para pemimpin ini membuktikan bahwa kebangkitan pemerintah anti-HAM bisa dielakkan.
Menurut HRW, menyusul banjir retorika dari pemerintah melawan kaum LGBT pada 2016, aparat membidik pertemuan dan individu LGBT pada 2017.
"Pemerintah tidak bertindak terhadap aparat keamanan dan para preman yang berusaha membubarkan pembahasan soal rekonsiliasi peristiwa pembantaian 1965-1966, dimana militer dan milisi yang didukung militer membunuh sekitar 500 ribu hingga satu juta warga yang disangka komunis serta etnis China," tulis HRW.
Pada Agustus, polisi dan tentara Indonesia memaksa pembatalan sebuah seminar publik soal kompensasi finansial bagi para penyintas dan keluarga korban pembantaian 1965-1966.
Pada 16 September, aparat lagi-lagi mencegah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang akan menggelar seminar soal pembantaian tersebut.
"Aparat keamanan Indonesia jarang diadili atas pelanggaran serius, termasuk pembunuhan," kata HRW.
Pda September, penyidikan polisi menyatakan empat polisi, yang dengan sengaja menembaki pemrotes di Deiyai, Papua pada 1 Agustus dan menewaskan satu pemuda Papua, bersalah atas 'tindakan yang tidak benar'. Penyidik juga memutuskan bahwa hukuman mereka adalah penurunan pangkat dan permintaan maaf publik, bukan penuntutan pidana.
"Pada saat yang sama warga Papua dan Maluku tetap dipenjara atas tuduhan 'pengkhianatan' karena berpartisipasi dalam protes anti pemerintah," tulis HRW.
Komisi Pemberantasan Tindak Kekerasan terhadap Perempuan Indonesia melaporkan bahwa ada ratusan peraturan nasional dan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan.
Aturan tersebut termasuk perda yang memaksa wanita dan anak perempuan untuk mengenakan jilbab di sekolah, kantor pemerintah dan ruang publik.
Pada November, pejabat polisi dan militer tidak menghentikan tes keperawanan, yang menurut HRW kejam dan diskriminatif, bagi pelamar perempuan. "Tes secara resmi diklasifikasikan sebagai ujian psikologis untuk alasan kesehatan mental dan moral," kata HRW.
Menurut Kine, Deputi Direktur HRW wilayah Asia, pada masa mendatang Presiden Jokowi harus menunjukkan kepeimpinan dengan memastikan bagi para korban pelanggaran HAM, baik saat ini maupun 50 tahun yang lalu. "Kegagalan untuk menahan mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM akan menyebabkan lebih banyak lagi orang-orang yang rentan berisiko di masa depan," kata Kine dalam rilis yang dipublikasikan di laman hrw.org, Jumat (19/1).
(CNN Indonesia)